Bila terdapat audisi keluarga teladan, mungkin inilah salah satu keluarga yang mewakili bagaimana harapan, kasih sayang, dan khusnudzon kepada Allah SWT menjadikan kemiskinan bukan ujian yang dihadapi dengan ratapan. Hati kukuh, sikap tangguh dan semangat baja unutuk melakukan kebaikan; lebih dari orang lain yang memiliki kelebihan harta,waktu, juga kesehatan.
Pak Imam, namanya.
Saya mengenalnya sebagai lelaki sederhana yang tak banyak bicara namun murah senyum. Ia tidak ada di podium, di panggung, di mimbar. Tak mahir mengutip ayat atau memberikan dalil. Ia penjaga kantor DPD PKS Tegal, juga bagian bersih-bersih jika sebuah acara berlangsung. Ia datang paling awal dan pulang paling akhir. Tugasnya mengumpulkan sampah sisa agar selesai acara, tak ada lagi ceceran barang kotor tertinggal di tempat.
Istrinya, mbak Nuning adalah seorang perempuan sederhana yang selalu tertawa dan tersenyum lebar. Tak pernah mengeluh ini itu sekalipun tempat tinggalnya masuk gang sempit yang sebenarnya tak layak untuk dihuni. Saya mengenal keluarga ini belasan tahun, tak sekalipun mereka pernah meminjam uang atau mengeluh kelaparan, sekalipun pernah suatu saat mbak Nuning keceplosan mereka ternyata berhari-hari tak makan. Putri kecil mereka , Hilma (sekarang sudah menjadi gadis cantik), saat itu mengumpulkan uang limaratus rupiah. Rp500! Dengan uang itu Hilma membeli bubur, meski seorang anak biasanya egois, namun si kecil Hilma membagi bubur itu untuk seluruh anggota keluarga.
Pak Imam dan mbak Nuning memiliki 4 orang putra putri : Ihya, Safir, Hilma dan Habibah. Ihya telah meninggal beberapa tahun lalu karena sakit menahun.
Stroke dan glaukoma
Beberapa bulan lalu, saya mendengar kabar pak Imam stroke.
Betapa sedih hati ini karena tak dapat membantu banyak. Pasti , beban pak Imam, mbak Nuning dan anak-anaknya semakin besar. Teman-teman membantu, Safir juga saat ini telah lulus sekolah juga Hilma. Safir dan Hilma sudah bekerja, namun tentu beban ekonomi belum dapat teratasi. Apalagi, sakitnya pak Imam membutuhkan banyak biaya.
Stroke pak Imam menyebabkannya lumpuh total. Dokter mengatakan, ia dapat kembali normal meski tak seratus persen sembuh, setelah jangka waktu satu tahun. Tidak itu saja, stroke juga menyerang matanya hingga mengalami glaukoma.
Dapat anda bayangkan betapa sedih mbak Nuning dan anak-anaknya?
Bahkan, ketika suami saya menengoknya, ia sama sekali tak mengenal.
“Siapa ya?” pak Imam hanya mampu bertanya-tanya.
Jangankan suami saya. Pak Imam hanya mampu menggambarkan suami saya dengan kata-kata: tinggi, besar, berjenggot.
Berlinang air mata, mbak Nuning mengatakan :
“Jangankan orang lain. Ia tak mengenal anak-anaknya. Tak mengenal istrinya. Tak mengenali wajah saya, bahkan tak ingat nama saya.”
Jalan menuju DPD
Tak ada yang diingat pak Imam setelah stroke.
Kami bertanya, Safir ada dimana pun, ia butuh waktu lama untuk menjawab dan tak ingat tepatnya saat itu putranya ada dimana. Safir menikah beberapa bulan lalu, dan ketika kami bertanya bulan apa Safir menikah; pak Imam pun tak dapat menjawab.
“Bulan apa ya….,” ia mengulang pertanyaan kami.
Namun, apa yang membuat kami demikian terharu adalah, ia mengingat sesuatu dalam hidupnya. Satu-satunya yang ia ingat, satu-satunya yang mengendap dalam benak, satu-satunya yang terekam memori otak, juga memori hatinya.
Ketika ingatan akan anak-anak dan istrinya sama sekali tak meninggalkan bekas, pak Imam ternyata masih ingat jalan dari rumahnya menuju DPD. Lebih dari itu ia akan tersesat, sebab tak mengenali jalan pulang. Namun jarak tempuh, tanda-tanda, belokan antara rumah menuju kantor DPD, masih tetap utuh. Seolah-olah, tanggung jawabnya untuk menajdi bagian dari jamaah, meski kecil dan tampak tak berarti bagi sebagian besar manusia; telah menjadi bagian yang mendarah daging dan tak akan dilepaskannya amanah tersebut.
Kami menangis memandang lelaki sederhana itu yang tentu, tak mengenali siapa kami.
Matanya separuh buta, tubuhnya lumpuh akibat stroke (meski sekarang mulai membaik), ingatannya menghilang namun hatinya tetap utuh hidup bersama jamaah. Orang-orang seperti pak Imam dan keluarganya inilah; yang akan membuat kita banyak belajar.
Ketahanan, resiliensi, endurance; tak akan didapat jika bukan karena ketulusan hanya mengharap balasan Allah SWT, insyaAllah.
🙁
T.T
🙁 Semoga Hati2 ini senantiasa terpaut dalam ukhuwah dengan jamaah yang mrngantarkan kita menuju Allah.. Aamiin
Ketika penulis-penulis besar negeri ini berkumpul dan mengangkat profil orang-orang kecil yang luar biasa ini Mbak, pasti banyak orang yang tergerak menghargai arti perjuangan 🙂