The most thing you’re afraid of

Apa yang paling kau takuti?

Hantu, kejahatan, inflasi? Kematian, penderitaan, musibah?

 

 

Waktu SD, ketakutan yang paling parah adalah malam2 pasca menonton film City of the Living Dead, disamping  rasa takut amat sangat pada pembantuku melebihi takut pada ayah ibu. SMP aku khawatir tak punya teman & komunitas, SMA aku sangat takut pada nenek , kuliah aku sangat takut pada ustadz kampus kami. Rasanya sangat sedikit saat patriotik dalam hidup ini kecuali : aku menikah di usia dini dengan lelaki yang sama sekali tak kukenal kecuali lewat selembar biodata, 4 anak dalam jarak 2 tahun berturut, melanglang Medan & Surabaya tanpa sanak saudara . Apa itu keberanian?

 

Last night, when I lied my knee & my head down, I found something inside my mind. Semacam puzzle yang tercerai berai kembali ke tempat asal, semacam rangkaian yang menyatukan jalinan utuh.  Suddenly, aku merasa takut Tuhan mengabaikanku. Andai Ia membiarkanku berjalan sendiri tanpa panduan, dibiarkannya melangkah terus, menyangka semua ini kebaikan yang membawaku ke surga padahal……….

 

I’m not a sinner, aku bukan pendosa, seperti bayangan dosa yang ada di lokalisasi Dolly, sel rutan Medaeng atau meja anggota Dewan. Tetapi apakah hukuman maksimal hanyalah rajam, penjara seumur hidup, atau eksekusi mati  ? Bagaimana jika di bawah busana muslim ini, di bawah akhlaq manis dan kepintaran agama tersembunyi sesuatu yang busuk di bawah kulitnya? Takabur, egois, merasa diri paling hebat & benar.

 

I’m so afraid that God will leave me alone.

Bagaimana aku mampu menjalankan amanah sebagai ibu, istri, daiyah, penulis, pengurus FLP sekaligus? Berapa waktu yang harus kupunya? Berapa dana? Berapa tenaga yang dibutuhkan? Berapa personil yang diperlukan? Kepada siapa aku meminta pertolongan saat datang kesulitan?

24 jam. 7 hari. Komite sekolah. Parenting. DPW. DPD. DPRa. RTku. FLPku.Anak-anak. Adik2 pengajian. Rusun Wonorejo & Penjaringan. Orang yang tak mampu makan. Anak-anak putus sekolah. TK dengan yayasan kembang kempis. Menyapu, mengepel, membersihkan kamar, mengecek PR, mengecek hafalan, mengontrol sholat-tilawah-puasa, mengatur menu, mengatur cashflow rumah tangga,merancang program domestik-publik, di saat yang sama harus menyelesaikan novel, mengedit naskah, mengecek & mengirim imel, menerima telpon, membaca & menjawab sms. Undangan. Pelatihan. Talkshow. Roadshow. Tugas da’wah tiba-tiba. Telpon tiba-tiba berdering ”…bisakah Ibu mengisi di tempat X?” Begitupun cemoohan. Sindiran. Teguran. Tuduhan. Tuntutan. Begitu sibukkah aku?

Tuhan, di titik mana aku boleh berputus asa?

 

Lalu tiba-tiba bayangan Abubakar, Umar, & para shahabat melintas. Mereka memberikan kontribusi terbaik tanpa kehilangan jatidiri, segala pengorbanan tak menemui frustasi. Waktu bukan masalah. Tenaga bukan masalah. Setumpuk agenda bukan masalah. Hinaan bukan masalah. Kesulitan bukan masalah. Hambatan bukan masalah. Masalah bukan masalah. Vertical relationship yang demikian kokoh, jernih, berkesinambungan hingga jiwa mereka demikian tangguh bersandar padaNya. Ketakutan dan kelemahan telah ditaklukan, dihancurkan, dikuburkan rapat-rapat. Setitik harapan bagai cahaya di tengah badai gelap gulita, satu peluang kebaikan selalu diburu dengan segenap kemampuan. Ketakutan tak lagi punya peluang.

 

Memangnya kepada siapa aku dapat berharap ketakutan ini dapat pupus?

Comments

  1. Mba, makasih buat pencerahannya.
    Keep writing ya mba
    Bolehkah aku mengatakan bahwa aku mencintai mba krn Alloh.
    Abis blm kenal kok kayaknya dah sayang 🙂
    Salam kenal ya ma

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *