Bertemu seseorang, pikiran ini melesat ke jajaran buku-buku di rumah. Bila ia sebuah buku, apakah judulnya?
Sepasang sahabat yang sejak dulu diam-diam saya kagumi, mengingatkan pada sebuah buku monumental karya Viktor Frankl : Man’s Search for Meaning. Gagasan Frankl menolak pleasure principle Freud, ia pun tak setuju dengan will to power Adler. Bagi Frankl, manusia terlalu dangkal untuk sekedar mencari kesenangan dan kekuasaan dalam hidup. Manusia lebih dari itu. Sepanjang hidup, manusia mencari meaning. Makna.
Konsep logoterapi Frankl mengkristal setelah ia selamat dari kebrutalan penjara Bavaria. Diperlakukan bak binatang, seluruh tulisannya dimusnahkan, Frankl nyaris mati karena serangan jantung yang kerap menghinggapi tawanan yang malnutri dan dehumanisasi. Semangat untuk menuliskan kembali buah pikirannyan membuat Frankl bertahan dan ajaib, ia hidup hingga 1997.
Pendapat Frankl yang pantas direnungkan adalah persepsinya tentang dirinya sendiri, “aku tak pernah tahu tentang diriku kecuali satu hal sederhana : aku tak akan melupakan kebaikan orang lain dan tak akan pernah menaruh dendam pada siapapun.”
Pendapatnya tentang frustrasi eksistensial mengungkapkan, tak selamanya penderitaan itu buruk. Adakalanya, penderitaan membuat manusia lebih cemerlang, lebih berkilau dari makhluk lain sejagad raya.
Sepasang sahabat ini, yang tertakdir menjadi suami istri, cukup lama saya kenal. Setelah berpisah karena kesibukan masing-masing, saya hanya menyapa Wid lewat whatsapp. Hingga suatu ketika, saya mengupload sebuah tulisan https://sintayudisia.wordpress.com/2015/09/18/masjid-fukuoka-satu-titik-wilayah-makrokosmos/
Lama saya tak berkomunikasi dengan Hani (samaran) sampai tiba-tiba ia mengomentari tulisan tersebut dengan sebuah pertanyaan : Azhar Halal Food?
Maka kembali kami bertemu lewat dunia maya setelah sekian lama berpisah. Kali ini, dipertemukan dengan suaminya yang selama ini just say hello. Luarbiasa mereka, pasangan muda ini, yang ketika mengenalnya, luluh sudah perasaan bahwa di dunia ini kita adalah orang yang paling banyak masalah. Paling menderita.
Allah memasangkan mereka, sebagai pelajaran bahwa dalam situasi-situasi paling ekstrim, manusia mampu memperlihatkan sisi-sisi paling manusiawi dalam dirinya. Sisi manusiawi yang bahkan lebih tinggi derajatnya dari malaikat, sisi manusiawi yang bukan menafikkan perasaan marah, kecewa, sedih, menyesal , putus asa. Perasaan negatif itu pastilah muncul, namun bagaimana mengelolanya, itu yang menjadi pemilah.
Man’s Search For Meaning.
Cerita suami Hani menjadi salah satu bahan penting untuk penulisan #Karatsu #Fukuoka.
Tentang komunitas muslim.
Tentang surviving.
Tentang bagaimana mengubah arah ketidakberdayaan manusia menjadi batu loncatan untuk meraih sesuatu.
Thanks for sharing.
Kisah sepasang suami istri ini kelak, layak dibukukan sebagaimana Jean Piaget mengamati anak-anaknya dan merumuskan teori Psikologi Perkembangan. Apa yang dialami, dilalui, dihayati, diperjuangkan mereka berdua akan sama nilainya seperti teori logoterapi Viktor Frankl.
Kapan kita copy darat lagi, Hani? 🙂
Tulisan ke #3 dari Journey to Enlightment
#Karatsu
#Fukuoka
#Jepang
Trus, bila saya juga buku, apa judul untuk saya, Mbak? 😀
Bukunya Rudyard Kipling Mbak…♡♡♡