“Wong loro opo sehate, wong mati opo uripe.”
Literally : orang sakit (seperti) apa sehatnya, orang mati (seperti) apa hidupnya
Pepatah Jawa itu sering menjadi nasihat diam-diam bagi kami, untuk menjaga diri. Kalau gak ingin sakit aneh-aneh, saat sehat jangan pula banyak makan aneh-aneh. Kalau ingin mati dengan baik, hiduplah dengan baik.
Apa definisi meninggal dengan baik?
Menghembuskan nafas di atas pembaringan dikelilingi anak cucu sembari membacakan wasiat, wafat di atas pembaringan dalam pakaian berbahan lembut dan selimut hangat sebagai balutan? Ini yang ada di film-film.
Kalau begitu, para Pejuang NKRI yang melawan penjajahan dan mati mengenaskan dengan tubuh penuh luka tak masuk kategori ini. Kalau begitu, para Pejuang COVID tempo hari yang wafat sendirian bahkan tak dimandikan dan dilayati, tak masuk kategori ini.
Bagiku, meninggal dengan baik memiliki beberapa makna.
Pertama , ketika kepergiannya meninggalkan jejak lubang yang dalam. Artinya, selama hidup ia mengisi banyak kekosongan dalam diri kita yang gak bisa diisi oleh pihak lain. Kedermawanannya, keshalihan dia, teladannya, sosoknya, keberaniannya dan seterusnya.
Kedua , kepergiannya dibicarakan banyak orang. Bukan hanya media yang sengaja mengangkat namanya agar bombastis di pemberitaan, namun memang benar2 dibicarakan banyak orang. Orang gak nyangka ia pergi secepat itu, orang gak nyangka ia wafat dengan cara demikian, orang masih berharap ia hidup lebih lama, orang merindukan kehadirannya, dan seterusnya.
Ketiga , banyak yang bersaksi atas kebaikan dirinya. Setahuku -CMIIW- jika ada 1 orang bersaksi akan kebaikan si mayyit saat hidupnya, maka itu akan meringankan hisabnya dan membuka peluang ke surga. Jika ada 2 orang, maka bertambah lagi. Jika semakin banyak, maka berkelipatan lagi kesempatannya ke surga.
Tahun 2009, aku berkesempatan ke G@z4 , P4lestin3 bersama BSMI. Seperti apa orang-orang di sana? Sama seperti kita. Suka becanda, suka ngobrol, senang dikunjungi teman. Menjalani kehidupan sehari2 seperti berkeluarga, bekerja, sekolah, berbelanja, dst.
Bedanya, resiliensi dan kebiasaan baik yang ditanamkan sejak dini. Kami para tamu makan kenyang sementara mereka berpuasa. Kami tidur nyenyak, sementara mereka berjaga. Kami ngasih donasi tak seberapa (dibanding negara2 lain) tapi mereka tak segan ngasih hadiah.
Aku bertanya pada teman wartawan ,” Gimana rasanya ketemu Pak Ismail H? Kan Mas sering wawancarai para petinggi negara?”
Seorang wartawan bilang, “Sumpah, Mbak! Speechless aku! Aku lancar interview para presiden di acara summit meeting kemarin tapi orang ini…luarbiasa kharismanya. Aku gak bisa ngomong apa-apa di dekat dia!”
Aku termangu-mangu.
Memang betul adanya. Pak Ismail dengan pakaian sederhana menyambut kami, berterima kasih atas donasi dari Indonesia, lalu kami berfoto bersama dan aku dikasih kenang2an scarf sulaman perempuan P4lestin3.
Kharisma.
Di dekatnya kami membisu. Gagap susah bicara. Kalau aku, nangis sesenggukan. Gak tau kenapa. Di hadapannya aku ngerasa kecil, gak berharga, gak punya kontribusi berarti dibanding perjuangannya bertaruh nyawa tiap hari melawan penjajahan. Suaranya lembut dan berat, tatap matanya syahdu dan menyimak lawan bicara. Di akhir pertemuan, ia berkata bahwa harus segera menemani istrinya yang tengah sakit.
Setiap 1 kata yang diucapkan, bobotnya menggedor rongga dada! Apa ini karena hafalan Quran yang dimilikinya? Apa karena auranya yang bukan hanya sebatas omongan belaka, tapi juga sampai tahap pelaksanaan dan pengorbanan?
Memang, ada orang yang bercakap tapi tak melakukan. Ketika ia menasehatkan sesuatu, rasanya gak sampai nyesss di hati karena aura-nya gak ada sama sekali.
Pak Ismail ini sangat berbeda.
Ketika ia berucap, “Terima kasih. Semoga Allah membalas.” Rasanyaaa…tak terkira. Semoga Allah membalas, kata-kata itu juga diucapkan oleh ribuan orang. Tapi bagi penghafal Quran, Pejuang, mereka yang berkorban dan bertaruh nyawa; keyakinan Allah Maha Membalas bukan sekedar lip service belaka. Beliau benar-benar yakin bahwa Allah Maha Membalas.
Ada peristiwa aneh malam jelang 31 Juli 2024.
Aku susah tidur karena memang lagi sakit. Tapi sejak pagi hari itu, siang, sore, malam gak tau kenapa lagi suka mendendangkan . Sampai malam jelang tidur aku bersenandung terus. Ketika berbaring, hatiku pun terus bershalawat. Malam gelisah bangun bolak balik, shalawat itu bergaung di hati dan benakku. Padahal, aku jarang mengucapkan shalawat ini. Aku lebih terbiasa baca shalawat Badar atau shalawat Nariyah, selain tentu shalawat seperti dalam tahiyat sholat.
Ada 1000 kemungkinan di atas dunia ini, tak perlulah berandai-andai. Shalawat asyghil adalah doa agar orang2 dzalim disibukkan dg orang dzalim, dan memohon agar dikeluarkan dari kondisi tersebut.
He was sweet as husband, father, friend, role model. Good leader. Wise man. Brave. Steadfast. Patient. Good Imam in every kind. What else?
So many people love you, Mr. Haniyeh. We’ve already missed you. You’re not dead. Now you’re living in the true life with The Most Compassionate and The Most Merciful Allah.