Kartini’s spirit Never Die

Catatan Perjalanan Jurnal Harian mother's corner

img2067aimg2068a img2074a

Alhamdulillah, tanggal 25 April kemarin aku berkesempatan mengisi acara Kartini di UNAIR. KArtini, kadang lebih diidentikan dengan perayaan berpakaian tradisional dengan sanggul dan kebaya. Padahal perjuangan Kartini lebih dari itu : pandangannya terhadap pendidikan, terhadap al Quran, terhadap orang2 yang berada di bawah derajatnya dan juga terhadap perempuan pada umumnya. Semoga kita bisa meneladani bukan hanya Kartini tapi juga seluruh contoh muslimah hebat yang kisahnya terukir dalam sejarah.

Ini materi yang kusampaikan :

<!– @page { size: 8.5in 11in; margin: 0.79in } P { margin-bottom: 0.08in } –>

Kedudukan Perempuan dalam Islam

UNAIR 25 April 2009

  • Orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Bijaksana”. (QS. Al-Taubah, 9: 71).

Pembahasan ‘aqidah,

  • sebagai basis awal seluruh ajaran keislaman, sulit ditemukan pernyataan teks apapun yang membedakan posisi laki-laki dari perempuan.Dalam wahyu pertama sama sekali tidak dinyatakan ‘hanya untuk laki-laki’ atau ‘tidak untuk perempuan’. Seluruh pernyataan Allah SWT diperuntukkan bagi seluruh hamba-Nya, tanpa membedakan laki-laki dan perempuan.

  • Tetapi dalam kaidah ushul fiqh maupun kaidah bahasa, redaksi laki-laki digunakan untuk mencakup kedua jenis kelamin (al-ashlu fi al-khithâb ya‘ummu adzakara wa al-untsâ), kecuali jika dinyatakan secara khusus untuk jenis kelamin tertentu (illâ in dallat al-qarinatu ‘alâ khushûsihi).

  • Perintah bertauhid, misalnya, sekalipun menggunakan redaksi laki-laki (khithâb al-dzukûr), tetapi mencakup kedua jenis kelamin (ya‘ummu al-dzukûr wa al-inâts). Sama juga dengan perintah untuk menjadi khalifah yang memakmurkan bumi dan menjadi saksi kemanusiaan (syuhadâ ‘alâ al-nâs), yang juga menggunakan redaksi laki-laki.

  • Untuk ajaran tauhid misalnya, yang secara vertikal berarti ketundukan kepada Tuhan yang hanya satu (ilâhun wâhid), dan secara horizontal berarti kesederajatan seluruh manusia dengan tanpa penghambaan di antara mereka dan tanpa diskriminasi.

  • Setiap ada perilaku diskriminasi dan yang merendahkan kemanusiaan, Nabi saw. selalu menyatakan kepada pelaku tersebut, “Kamu adalah orang yang masih terpengaruh budaya kebodohan” (Innaka rajulun fîka jahiliyyah). Begitu juga makna khalifah dan saksi kemanusiaan, sebagai turunan dari ajaran tauhid.

  • Mencari ilmu untuk memperoleh pengetahuan dan pengalaman, serta menyebarkannya adalah turunan dari ajaran ketauhidan, kekhalifahan, dan sebagai bentuk kesaksian untuk kemanusiaan. Laki-laki dan perempuan, keduanya dituntut meningkatkan pengetahuan dan mempertanggungjawabkan bagi kepentingan keumatan. Tugas ini dalam bahasa lain disebut sebagai amar ma‘ruf nahy munkar,

  • Tugas amar ma‘ruf dan nahy munkar, yang menjadi tanggung jawab bersama, laki-laki dan perempuan, menuntut kemampuan pengetahuan yang memadai dan pengalaman yang cukup. Pencapaian pengetahuan inilah yang kemudian menjadi pintu masuk ‘keulamaan’ laki-laki maupun perempuan. Seorang pakar hadis, al-Hafiz ibn al-Jawzi (w. 597 H) dalam kitabnya Ahkâm al-Nisâ’, menegaskan pentingnya pengajaran untuk perempuan. Sekalipun di dalam kitab ini, dia mengumpulkan berbagai teks-teks hadis yang sepertinya membelenggu perempuan, tetapi dia tetap mengatakan:
    “Bab ketiga: Kewajiban perempuan untuk menuntut ilmu. Perempuan, sama seperti laki-laki, diharuskan menuntut ilmu mengenai hal-hal yang menjadi kewajiban dirinya dalam kehidupan, agar ia bisa melaksanakan dengan penuh keyakinan..
    (Ibn al-Jawzi, Ahkâm al-Nisâ, 11).

  • Di akhir bab dari kitab ini, yaitu bab yang ke-110, Ibn al-Jawzi menuturkan 66 nama perempuan yang dinilai memiliki keagungan dan kemuliaan. Baik karena keilmuan yang dimiliki, pengajaran yang dilakukan, atau sikap agama dan ibadah yang dilaksanakan. Sejak masa Nabi Muhammad saw., para perempuan diberi kesempatan dan didorong untuk memperoleh pengetahuan yang menjadi kewajiban dan merupakan persoalan dirinya. Sayyidah ‘Aisyah ra., dalam suatu teks hadis, memuji perilaku beberapa perempuan Anshar Madinah yang memiliki semangat tinggi untuk datang ke rumah Nabi saw. untuk memperoleh ilmu pengetahuan. “Sebaik-baik perempuan adalah mereka yang dari Anshar, karena mereka tidak pernah malu untuk belajar memperdalam agama”. (Riwayat Bukhari, lihat: Ibn al-Atsir, Jâmi‘ al-Ushûl, juz 8, h. 196, no. hadis: 5352). Beberapa teks hadis yang lain, juga menceritakan mengenai tuntutan para perempuan yang meminta waktu khusus untuk belajar dari Nabi Muhammad saw. Di samping mereka juga biasa mendatangi masjid, ikut shalat lima waktu maupun Jum’at dan mendengar khutbah, baik Khutbah Jum‘at maupuan Khutbah Idul Fitri maupun Idul Adha.

  • Aktivitas ini yang membuat beberapa perempuan sahabat bergerak, sepeninggal Nabi saw., menjadi pengibar panji-panji keilmuan dalam peradaban Islam. Baik Ilmu Alquran, Hadis, Fiqh maupun sastra dan sejarah Bangsa Arab. Al-Hafiz al-Maqdisi (w. 600 H) mencatat dalam kitabnya al-Kamâl fî Asmâ ar-Rijâl, ada 824 nama perempuan di abad pertama, kedua dan ketiga hijriyah, yang memiliki kontribusi pengajaran ilmu-ilmu transmisi hadis (al-riwâyah).

  • Pada masa sahabat yang paling menonjol dalam pengajaran, di antaranya adalah

  • Aisyah bint Abi Bakr ra. yang memiliki 299 murid,

  • Ummu Salamah bint Abi Umayyah ra. dengan 101 murid,

  • Hafsah bint ‘Umar ra. dengan 20 murid, Asma’ bint Abi Bakr ra. dengan 21 murid,

  • Hajimah al-Wassabiyyah ra. dengan 22 murid,

  • Asma’ bint ‘Umais ra. dengan 13 murid,

  • Ramlah bint Abi Sufyan ra. dengan 21 murid dan

  • Fathimah bint Qays ra. dengan 11 murid.

  • (Lihat: al-Habasy, al-Mar’ah bain al-Syari‘ah wa al-Hayah, h. 16).

  • Ibn al-‘Arabi mencatat dalam kitabnya al-Futûhat al-Makkiyyah, ada lebih 40 orang sufi besar perempuan yang memiliki pengaruh terhadap literatur dan pengajaran tasawuf. Ulama perempuan pada abad pertama hijriah, yang terkenal di bidang fiqh adalah Zainab bint Abi Salamah al-Makhzumiyyah (w. 73 H), Hajmiyah bint Hayy al-Awshabiyyah al-Dimasyqiyyah yang biasa dipanggil Umm al-Darda’ (w. 81 H), ‘Umrah bint ‘Abd al-Rahman (w. 100 H). Ketiganya adalah ulama besar yang disaksikan para sahabat dan ulama-ulama mazhab. Sayyidah ‘Aisyah ra. orang yang langsung mendidik ‘Umrah bint ‘Abd al-Rahman, sehingga ia menjadi rujukan banyak ulama pada masanya. Imam Malik bin Anas, pendiri mazhab Maliki, termasuk salah seorang yang banyak merujuk pada pandangan-pandangan ‘Umrah bint ‘Abd al-Rahman (lihat: al-Sa‘di: al-Faqîhat al-Mansiyyât, h. 12).

  •  

  • Ruth Roded dalam Kembang Peradaban, keterlibatan perempuan semakin ke depan (atau kemari) justru semakin sedikit. Abad-abad pertama justru lebih banyak keterlibatan perempuan dalam ilmu pengetahuan dan aktivitas keagamaan. Mungkin ini menjadi kritik keras terhadap realitas keterpurukan perempuan sepanjang sejarah Islam di abad pertengahan dan abad-abad akhir. Indonesiapun memiliki sejarah keulamaan yang signifikan, yang diakui dunia bahkan dikunjungi Rektor Universitas al-Azhar Mesir, yaitu Rahmah el-Yunusiah yang sempat diberi gelar al-Syaikhah atau Guru Besar (perempuan) dari universitas tersebut. Artinya, ia sesungguhnya setara dengan al-Syaikh Mahmud Syaltut pada saat itu.

  • , sesungguhnya ada pada problem bahasa dan realitas yang ada, yang seringkali digunakan untuk melupakan kiprah ulama perempuan. Istilah ‘ulama’ lebih sering untuk merujuk kepada laki-laki, begitu juga istilah ‘fuqahâ’ pada ahli fiqh laki-laki, ‘mufassirûn’ pada ahli tafsir laki-laki, ‘mursyid’ bagi guru tarikat tasawuf laki-laki, sekalipun keterlibatan perempuan di semua bidang ilmu ini cukup signifikan. Bahkan kesustraan Arab, puisi maupun prosa, juga menggunakan istilah al-syu‘arâ’ dan al-fuhûl yang identik dengan laki-laki, sekalipun semua catatan sejarah memberi kesaksian keterlibatan perempuan yang sangat berpengaruh, seperti al-Khansâ dan Laila al-Akhyaliya adalah para pujangga awal Islam yang sangat terkenal. Dan mereka adalah perempuan. Ibn Taifur (w. 280 H) mengumpulkan semua karya-karya kesusastraan hasil kreasi perempuan; baik prosa maupun puisi dalam kitabnya Balâghat al-Nisâ. Ibn Hajar al-‘Asqallani (w. 852 H) juga memberikan label ‘orator ulung’ perempuan, bagi Asma bint Yazid ra. karena orasinya yang sempat mengagumkan Nabi saw. dan para sahabat mengenai jihad perempuan.

  • sekali lagi, ada pada problem komunitas, yang membentuk jati diri perempuan maupun laki-laki. Masyarakat seringkali tidak berharap banyak dari ‘keulamaan’ perempuan. Jikapun mereka meminta perempuan belajar agama, tidak akan jauh dari fatwa-fatwa seputar darah haid. Itupun seringkali perempuan hanya menjadi pengguna dari ‘fatwa-fatwa’ yang sudah dikeluarkan oleh ulama laki-laki. Harapan lain dari sisi sosial, agar menjadi ‘istri shalihah’ bagi suami, atau jika beruntung -bagi kalangan tertentu di masyarakat pedesaan- paling jauh berharap menjadi istri dari seorang ulama atau kyai. Ini problem kultural yang menghambat ketersediaan ‘ulama perempuan’ di masyarakat muslim. Bukan Islam itu sendiri, bukan ayat Alquran, bukan anjuran hadis dan sesungguhnya ini semua tidak sejalan dengan saksi sejarah peradaban keilmuan abad pertama Islam

  • Untuk meneruskan tradisi peradaban keilmuan awal Islam ini, sebagaimana prinsip Alquran dan anjuran hadis, kita harus membuka ruang keulamaan perempuan lebih lebar sekarang. Perempuan harus didorong untuk memperoleh pendidikan tinggi untuk keulamaan, di samping membentuk pengkondisian dari sisi sosial dan politik yang memungkinkan adanya dukungan kultural bagi keulamaan perempuan. Kebijakan politik harus memberikan afirmasi (dukungan) yang signifikan, karena kondisi sosial kultural yang kurang memberikan dukungan bagi keulamaan perempuan. Mulai dari penyediaan kesempatan belajar tingkat tinggi, beasiswa bagi perempuan, pemberian kesempatan tempat dan jabatan strategis, atau membentuk majelis keulamaan sendiri untuk perempuan. Ini semua karena kondisi sosial kultural yang kurang mendukung.

  •  

  • Imam as-Suyuthi (w. 911) menulis kitab mengenai kritik ‘Aisyah terhadap para sahabat terkait teks-teks hadis tertentu atau fatwa-fatwa keagamaan tertentu. Yaitu kitab ‘Ain al-Ishâbah fî istidrâkât ‘Aisyah ‘alâ al-Shahabah’. Salah satunya adalah kritik terhadap hadis tentang kesialan perempuan, yang diriwayatkan oleh Abi Hurairah ra. dan disahkan oleh Imam Bukhari dan Ibn Hajar al-‘Asqallani. ‘Aisyah melakukan kritik dengan mendasarkan pada ayat Alquran; “Tiada satupun bencana yang menimpa di muka bumi ini dan (tidak pula) pada dirimu sendiri, melainkan telah tertulis dalam kitab sebelum Kami menciptakannya. Sesungguh­nya yang demikian itu mudah bagi Allah” (QS. al-Hadid, 57: 22). ‘Aisyah tidak percaya dengan riwayat Abu Hurairah dan menegaskan bahwa redaksi itu sama sekali tidak mungkin datang dari mulut Rasulullah saw. (Lihat: al-’Asqallani, Fath al-Bari, jusz 6, h.150-152).

  • Di sini bisa disimpulkan, bahwa ruang keulamaan perempuan bisa menjadi wilayah yang tepat untuk mewujudkan eksistensi perempuan dalam sejarah peradaban keislaman, untuk melakukan pembelaan terhadap perempuan yang dizalimi oleh struktur sosial, dan untuk perjuangan menegakkan nilai-nilai keadilan dalam tatanan kehidupan bermasyarakat. Pendidikan merupakan alat utama untuk melakukan transformasi sosial. Melalui pendidikan dan proses keulamaan ini, perempuan akan mampu mengenal kemampuan dan kekuatan dirinya, didorong mempertanyakan berbagai asumsi, terus-menerus mencari kebenaran, belajar mengarti­kulasikan dan memperjuangkan kebenaran. Keulamaan, sebagaimana juga pendidikan akan menjadi basis kekuatan sosial-politik perempuan di kalangan umat Islam. Terutama memudahkan para perempuan untuk bisa lebih dekat dan lebih mudah memperdalam keilmuan dari para ulama perempuan, daripada ulama laki-laki. Lebih dari itu, ini semua merupakan upaya amar ma‘ruf nahy munkar yang merupakan kewajiban bersama, laki-laki dan perempuan, sebagaimana dianjurkan Alquran

Tokoh-tokoh Muslimah

  • Aisyah binti Abu Bakar r.a

Hafshah binti Umar

  • Rasulullah menceraikannya sekali kemudian merujuknya atas perintah Allah dan Jibril yang yang emmberitakan padanya bahwa Hafshah adalah istrinya di surga

  • Aisyah memujinya bahwa dia adalah putri ayahnya

  • DIjuluki Penjaga Al Quran karena lembaran lembaran Al Quran disimpan di rumahnya untuk dijaga dan dihafal

  • Meriwayatkan 60 hadis

Juwairiyah binti Harits

  • Wanita yang cantik dan manis. Kata Aisyah, ‘Aku tidak pernah melihat wanita yang agung, melainkan ia yang merupakan berkah bagi kaumnya’ Melalui dirinya Allah telah membebaskan seratus anggota keluarga dari Bani Musthaliq

  • 3 malam sebelum Nabi tiba di Madinah, Juwairiyah bermimpi seakan melihat bulan berjalan dari Yastrib hingga masuk ke dalam kamarnya. Ia pun tidak mau menceritakan hal itu kepada seseorang sampai Nabi menikahinya

  • Sosok wanita yang dikenal banyak bertasbih dan berzikir kepada Allah

Zainab binti Khuzaimah

  • Sebelum menikah dengan Rasulullah, dahulunya adalah istri ‘Abdullah bin jahsy yang gugur dalam Perang Uhud

  • Istri Rasulullah yang pertama yang meninggal di Madinah, setelah tinggal bersama Rasulullah selama 8 bulan

  • Wafat pada usia 30 tahun dan dimakamkan di Baqi’, dekat dengan masjid Nabawi, tempat pemakaman banyak sahabat. Kematiannya mengingatkan nabi kan wafatnya Khadijah

  • Diberi gelar Ummul Masakin karena sering memberi sesuatu dan mencintai orang orang miskin

  • Saat menikah dengan Rasulullah, maharnya 400 dirham. Kemudian Rasulullah membuatkan rumah untuknya di samping rumah Aisyah

  • Tidak sempat meriwayatkan satu hadis pun

Zainab binti Jahsy

  • Sosok wanita yang benar keimanannya dan bertaqwa. Aisyah menceritakan tentang kepribadian Zainab, “Aku belum pernah melihat wanita yang baik agamanya melainkan Zainab binti Jahsy” Wanita yang sangat bertaqwa kepada Allah, jujur dalam perkataan, suka menyambung tali silaturahim serta suka bersedekah. Orang yang membiasakan dirinya senantiasa bekerja dan bersedekah dengan hasil tangannya sendiri, serta mendekatkan diri kepada Allah dengan bersedekah

 

0 thoughts on “Kartini’s spirit Never Die

  1. assalamualikum wr wb
    oh iya aku prana masih ingat gaya??? anak brebes. mog ga lupa. kalau bicara kartini memang tak habis terangnya walau ada sisi gelapnya yang mana dia itu hasil dari poltik etis balas budi dari belanda yang dijadikan korban sekaligus pelaku emansipasi, walupun demikian itu masih pro dan kontra. kembali masalah muslimat saya sedang mencari kartini untuk menjadi NY.Prana heee heee. dia kartiniku walau tidak canntik dia muslimah yangpunya inner beauty seorang akhwat. doakan dia meneladani kartini. oke amin.
    wasaalm

    1. Mas Prana….! Tentu aja aku inget. Nanti ketemu pas Munas ya? Oya…mau kucarikan Kartini Sholihah? 🙂

      1. Syukurlah dan Alhamdulillah mba sinta masih inget. Btw munas kapan? dimana? oia dapat salam dari mas soni, sekarang mas soni punya anak lagi yang ke 2 seorang laki-laki, katanya kalau punya anak lagi dan anaknya perempuan akan dinamakan seperti nama mba sinta yudisia. mau cerita hati gapapa ya … memang aku sudah berkali-kali mengajukan proposal munkahat tapi ma ortu ga ada yang sempurna, aku ajukan yang cantik tidak boleh katanya anak miskin, aku ajukan yang kaya tidak boleh katanya tidak cantik.. aku ajukan kaya dan cantik si perempuanya yang ga mau haaa…. dst. jadi proposalku tentang munakahat oleh ortu belum juga ACC 100%. tapi sekarang aku lagi ada calon seorang akhwat, pa syafaat sbg murrobiku memberi arahan untuk proses ke sana. semoga aku tidak keder kata fauzhil adhim dalam mengadapi tantangan dan permasalahan. oh iya kalau ada info lomba menulis kirim-kirim ya…

        1. InsyaAllah kalau ada lomba diberitahu. Oya, semoga dimudahkan Allah semua urusan. Dapat akhwat yang baik, cantik, kaya, sholihah…amin…:-)

          1. …wah makasih doanya mba! oya FLP masih menerbitkan karya puisi? salam kenal and hormat selalu buat semua teman-teman FLP

          2. Puisi termasuk karya sastra yang tak akan pernah ditinggalkan dalam sejarah sastra. Ada kok karya2 FLP berupa puisi yang diterbitkan. Ayo mas Syam, tulis puisinya dan terbitkan!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *