Sayup di tengah malam, dalam keheningan kota Yogyakarta ketika saya kecil; samar terdengar di kejauhan derap langkah kaki pasukan dan gemerincing roda kereta. Suara indah, magis, harmoni dalam senyap dan kemegahan. Orang-orang berkata, terkadang suara yang kita dengar di malam hari, pertanda Nyai Roro Kidul tengah berkunjung ke istana .
Nyai Roro Kidul adalah sosok cantik bergaun hijau, dengan rambut tergerai hitam menutupi punggung. Mengenakan busana kebesaran ratu-ratu Jawa. Terkadang menggunakan kereta kencana, terkadang menunggang lautan membelah samudera. Konon, raja-raja tanah Jawa harus naik takhta dengan restunya. Bila mendapat restu Nyai Roro Kidul, maka aman tentramlah tanah Jawa. Bila tidak, sepanjang masa rakyat bergolak dan raja celaka.
Perjanjian Panembahan Senopati dan Sang Ratu
Kapan Ratu Kidul muncul?
Apakah ia telah hadir sejak zaman Majapahit atau lebih awal lagi? Ataukah baru dikenal di zaman Mataram dan sesudahnya? Seperti apa sosok dirinya sesungguhnya, bahkan konon jauh lebih cantik memukau dibanding yang telah kita kenal selama ini?
Mengenal Ratu Kidul, berarti menapak tilasi sedikit sejarah berdirinya Mataram Islam.
Sepeninggal Hayam Wuruk dan Gajah Mada dalam memerintah Majapahit, perang saudara menyelimuti tanah Jawa termasuk perang Paregreg yang legendaris. Satu demi satu raja naik takhta, digulingkan, naik yang lain, pemberontakan muncul, raja baru tampil, mati dan begitu seterusnya. Majapahit bahkan pernah kosong selama 3 tahun.
Kemunduran Majapahit disusul munculnya Demak dan Pajang yang didukung oleh para wali.
Singkat cerita, terdapatlah dua saudara kharismatik, Ki Ageng Giring dan Ki Pemanahan. Ki Pemanahan, memiliki beberapa isyarat akan tampil menjadi raja Tanah Jawa karena beberapa kejadian :
- Suatu saat , Ki Ageng Giring naik pohon kelapa dan mendapati suara berkata, siapa yang meminum air kelapa yang tengah diambilnya maka keturunannya akan menjadi raja-raja Jawa. Ki Ageng Giring pulang ke rumah, meminta istrinya untuk menjaga buah kelapa tersebut baik-baik. Tak dinyana, Ki Pemanahan tiba-tiba berkunjung untuk silaturrahim dan meminum buah kelapa tersebut. Ki Ageng Giring yang semula menyangka keturunannya yang akan menjadi raja, menyadari bahwa keturunan Ki Pemanahan yang akan menjadi raja-raja terkemuka.
- Sultan Pajang, pernah menjanjikan Alas Mentaok kepada Ki Pemanahan atas jasa-jasa dan kesetiaannya. Bertahun-tahun janji tersebut tak dipenuhi, hingga Sunan Kalijaga menegurnya. Sultan Pajang berkilah, bahwa ia ingin memberikan wilayah negara yang lebih makmur kepada Ki Pemanahan, bukan Alas Mentaok yang masih hutan. Sultan Pajang mendapat kabar dari Sunan Giri, siapa saja yang menguasa Alas Mentaok , akan menjadi raja-raja Jawa. Sunan Kalijaga mengingatkan, bagaimanapun, janji harus ditepati. Meski berat hati, Alas Mentaok dihibahkan kepada Ki Pemanahan. Kelak, Alas Mentaok ini berubah nama menjadi Ngeksiganda. Ngeksi = Mata. Ganda = Harum. Ngeksiganda dikenal juga dengan nama Matarum atau Mataram, dalam bahasa India berarti Tanah Air. Ki Pemanahan lalu dikenal sebagai Ki Ageng Mataram.
Ki Pemanahan atau Ki Ageng Mataram memiliki 5 putra, salah satunya bernama Danang Sutawijaya atau kelak dikenal sebagai nama Panembahan Senapati. Ketika Ki Pemanahan wafat, Mataram dalam keadaan stabil namun harus segera menentukan pengganti. Ki Juru Martani, pendamping setia Ki Pemanahan mengajak 5 putra tersebut untuk sowan ke Sultan Pajang; berharap Sultan Pajang akan menetapkan pengganti namun Sultan Pajang tidak punya pilihan istimewa.
Dari kelima putra, Danang Sutawijaya (Panembahan Senapati) yang sering mengikuti perilaku tirakat Ki Pemanahan. Bangun malam, melakukan kontemplasi. Suatu saat, saat sedang menyepi, Panembahan Senopati melihat bintang bersinar terang datang kepadanya dan mengatakan bahwa ialah yang kelak akan menjadi Raja Mataram.
Panembahan Senapati gundah. Nasehat Ki Juru Martani yang kelah mengubah nasibnya.
“Janganlah kamu sombong. Bintang yang berkata-kata tersebut, boleh jadi benar, boleh jadi salah. Kita memohon pada Tuhan, semoga yang sulit dimudahkan. Bila kau memberontak pada Pajang, besar taruhannya. Mari kita berupaya bersama-sama; aku akan naik ke Merapi. Kamu akan ke Penguasa Laut Selatan.”
Kanjeng Ratu Kidul : manusia, peri, atau jin?
Menurut Ki Polo, salah satu juru kunci pemakaman Girilaya Imogiri terdapat perbedaan yang harus diluruskan di tengah masyarakat terkait tiga nama berikut :
- Kanjeng Ratu Kidul
- Nyai / Nyi Roro Kidul
- Ni Roro Kidul
Kanjeng Ratu Kidul adalah penguasa wilayah Pantai Selatan. Nama aslinya hingga kini masih misteri. Ia adalah perempuan bangsawan biasa , yang jatuh cinta pada rakyat jelata dan diharuskan hidup menyepi karena keputusannya. Lambat laun, karena mumpuni dalam hal pemerintahan, ia menjadi penguasa wilayah Pantai Selatan dan memiliki banyak bawahan. Raja-raja kecil di wilayah Selatan tunduk pada sosok yang dikenal sebagai Kanjeng Ratu Kidul. Perjanjian dengan Kanjeng Ratu Kidul hanya terjadi antara Panembahan Senapati, dan perjanjian tersebut bukan berupa ikatan pernikahan namun perjanjian bahwa Kanjeng Ratu Kidul sepenuhnya mendukung baik logistik dan pasukan kepada Panembahan Senapati.
Bagaimana dengan Ki Juru Martani?
Wilayah Merapi juga dipenuhi dengan penguasa-penguasa kecil. Ucapan Ki Juru Martani bahwa beliau akan meminta bantuan pada Penguasa Merapi bukan dalam artian beliau memohon pasukan gaib namun beliau bergerilya mengumpukan satu demi satu kekuatan agar Mataram mendapatkan dukungan penuh dari dua penjuru mata angin : Merapi dan Pantai Selatan.
Siapakah Nyai Roro Kidul dan Ni Roro Kidul?
Sejarah masuknya Islam di Jawa harus menghadapi kultur budaya Hindu yang sangat erat melekat hingga ke tulang sumsum bagi masyarakat. Dakwah 9 Wali memang belum tuntas dan harus dieteruskan oleh generasi demi generasi sesudahnya. Namun peletakan dasar para wali tersebut juga bukan perkara remeh dan gampang.
Sunan Kalijaga, adalah salah satu wali yang sering disalahartikan perilaku beliau menyerempet-nyerempet agama Hindu. Padahal, penggunaan istilah-istilah yang digunakan para Wali adalah agar agama Islam lebih dapat diterima di kalangan masyarakat Hindu. Istilah tersebut antara lain :
- Pusaka atau jimat. Masyarakat Hindu sangat mengagumi pusaka atau jimat. Seolah tanpa pusaka atau jimat, hidup tak akan tenteram. Apakah Islam punya pusaka atau jimat? Tentu. Gelar-gelar raja Jawa seperti Panembahan Senapati Ing Alaga Sayyidin Panatagama Kalifatullah dan seterusnya adalah gelar yang menunjukkan bahwa sang Penguasa Jawa tersebut dibekali dengan pusaka dan jimat sakti tiada dua. Kalifatullah hingga sekarang masih dikenakan oleh Hamengkubuwono X, merupakan nama pusaka yang terdiri atas 2 jenis : Kiai Kanjeng Al Quran dan Sajadah.
Masih ingat dengan sepasang keris Kiai Naga Sastra dan Kiai Sabuk Inten? Pusaka dan jimat konon kabarnya harus sepasang. Hilang satu, maka pertanda petaka. Quran dan Sajadah adalah sepasang jimat pusaka yang harus mengiringi sang Penguasa dimanapun ia berada.
- Kebiasaan masyarakat Hindu untuk menyepi, bertapa, sering digunakan oleh Ki Pemanahan, Panembahan Senapati yang sekilas terlihat sama. Orang-orang yang ingin menajamkan mata batinnya dengan berjaga-jaga sepanjang malam, melakukan sholat malam dan tilawah al Quran.
- Tapa telanjang. Beberapa penguasa melakukan hal ini. Ratu Kalinyamat salah satunya, yang bertapa telanjang hingga keinginannya untuk mengalahkan Aria Penangsang tercapai. Tapa telanjang ini bukanlah bertapa dengan kondisi tanpa busana, namun sang Ratu menanggalkan semua pakaian kebesarannya sebagai bangsawan saat tengah berkhidmah pada Sang Pencipta.
Para sastrawan sering menggunakan bahasa-bahasa indah dan sanepo (perlambang) untuk menggambarkan kedalaman makna. Jalaluddin Rumi menggambarkan asyik masyuknya berdua dengan Ilahi Robbi, menggunakan terminologi mabuk dan jatuh cinta. Bahasa-bahasa perlambang sering digunakan dalam masyarakat yang dekat dengan nilai-nilai sastrawi seperti Persia dan Hindu. Hubungan Panembahan Senapati dan Kanjeng Ratu Kidul dikabarkan sangat “mesra” hingga Mataram Islam berdiri. Kemesraan ini sering diartikan sebagai ikatan cinta.
Kebiasaan Tapabrata dan mencari Pusaka terus berlangsung hingga murid-murid para wali, keturunan Ki Pemanahan dan seterusnya sampai saat ini. Sebagian murid-murid atau pengikut yang masih kental nuansa Hindunya, benar-benar melakukan tapabrata.
Ingatkah nasehat Ki Juru Martani terkait suara Bintang Jatuh yang datang kepada Panembahan Senapati? Kebijaksanaan Ki Juru Martani sungguh tepat, mengingatkan Panembahan Senapati untuk tidak mempercayai suara tersebut 100%. Ucapan beliau agar Panembahan Senapati justru harus semakin mendekatkan diri pada Allah agar diberikan jalan keluar sekaligus menambahkan, “…suara gaib tak dapat dipercaya sebagaimana engkau mempercayai lidah manusia.”
Murid dan penerus dari pelaku-pelaku sejarah ini yang melakukan tapabrata dan ritual-ritual Islam-Hindu mendapatkan suara-suara gaib seperti Bintang Jatuh ; terkadang dalam 2 bentuk Nyai Roro Kidul atau Ni Roro Kidul. Baik keduanya adalah bangsa jin yang seperti digambarkan Ki Juru Martani : tak dapat dipercayai sebagaimana kita dapat mempercayai manusia.
Masyarakat umum, terutama masyarakat Jawa semakin sulit memisahkan antara Kanjeng Ratu Kidul yang hanya sekali saja melakukan perjanjian dengan Panembahan Senapati ( bukan turun temurun, apalagi dalam bentuk pernikahan, sebab Kanjeng Ratu Kidul juga tua dan mati); dengan Nyai Roro Kidul dan Ni Roro Kidul yang berasal dari kalangan jin.
Sebagaimana Quran surah ke 72 yang mengupas tuntas tengan Jin, Allah memberitahukan bahwa selalu ada segolongan manusia yang melakukan perjanjian, meminta pertolongan kepada bangsa Jin. Dan tidaklah bangsa Jin tersebut membantu apalagi memuliakan manusia kecuali justru melakukan yang sebaliknya : menjadikan manusia tersesat dan semakin lemah tak berdaya.
Nyai Roro Kidul sangat cantik?
Tentang Kanjeng Ratu Kidul, Nyai Roro Kidul atau Ni Roro Kidul yang sesungguhnya merupakan 3 sosok berbeda; masyarakat hanya mendapatkan gambaran visual dari 1 pihak : pelukis Basuki Abdullah.
Basuki Abdullah adalah pelukis yang menyukai gaya erotis-sensual. Lihatlah penggambaran Jaka-Tarub dan Bidadari atau tentang gadis Sunda. Penikmat seni tentu sepakat bahwa keindahan tubuh wanita yang menjadi point of view Basuki Abdullah. Demikian pula penggambaran Basuki Abdullah terkait Nyai Roro Kidul.
Cantik, bertubuh indah, rambut hitam terurai panjang, mengenakan busana hijau.
Ki Polo dari Imogiri menyampaikan : belum tentu Nyai Roro Kidul seperti itu. Saat manusia berkhayal, membayangkan, dan mengadakan persekutuan dengan makhluk ghaib; maka demikianlah bangsa jin akan menyesatkan. Kecantikan Nyai Roro Kidul menjadi legenda, mitos, cerita rakyat, kepercayaan turun temurun padaham belum tentu ia seperti itu. Bukankah bangsa jin adalah makhluk ghaib yang dikabarkan mampu berubah wujud menjadi ular atau binatang melata?
Sungguh disayangkan bila Kanjeng Ratu Kidul yang sesungguhnya, pendukung heroisme Panembahan Senapati digambarkan dengan tidak tepat. Disembah, diberikan sesaji, mengamuk penuh angkara murka bila tak dinikahi raja Jawa. Pun, raja-raja Jawa yang cikal bakalnya dididik oleh para Wali yang agung, ternyata tunduk pada makhluk gaib. Sungguh mengecilkan peran Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Giri, Ki Ageng Pemanahan, Panembahan Senapati. Pada akhirnya, kitapun akan mengecilkan peran para raja-raja yang dimakamkan di Imogiri; raja-raja tangguh yang kedigdayaannyan ditakuti oleh penguasa seantero dunia.
Bayangkan saja.
Seberapa kuat Nyai Roro Kidul mendukung Sultan Agung Hanyokrokusumo yang disegani Raja Aceh, Palembang, Turki hingga Syam? Bila saja memang Nyai Roro Kidul sekuat dan sesakti yang dibayangkan orang-orang, tentu Indonesia termasuk raja-raja yang masih tersisa dapat mudah menguasai Eropa, Amerika, dan seterusnya.
QS 72 (Al Jinn) : 6 :
“dan sesungguhnya ada beberapa orang laki-laki dari kalangan manusia yang meminta perlindungan kepada bangsa jin, tetapi mereka (jin) menjadikan manusia bertambah sesat.”
Sinta Yudisia
Surabaya, 28 Juli 2015
Referensi :
- Heryanto, Mas Fredy. Mengenal Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat. 2010. Warna Publishing
- Martohastono, RNg. Riwayat Pesarean Mataram I Kota Gede
- Nitinagoro, Hamaminata KRA. Sejarah Keraton Mataram. 2013. Grafika Citra Mahkota
- Wawancara dengan Ki Polo, Imogiri, Juli 2015
kereeeen! Jadi tambah wawasan nih. Makasih, mbk Sinta.
Terimakasih, Ustadzah cantiqqq. Kuliahnya bgm? 🙂
Selalu merinding disko baca Nyi Roro Kidul.
Weh, anak-anak udah gede
http://www.alimuakhir.com
Nulisnya juga merinding, Suhu 😀
Tulisannya bagus mba, wawasan baru buat saya. Jazakillaah mba 🙂
Waiyyaki, dek…
[…] Baca selengkapnya di https://sintayudisia.wordpress.com/2015/07/29/kanjeng-ratu-kidul-atau-nyai-roro-kidul/ […]
suami kerja di pelabuhan ratu jd sy sering bolak balik dan tahulah mba ritual masyarakat sana klo sudah waktunya nyajen…sapi utuh jg digiring k laut…Alhmdllh sdh 5 thn an ini ditiadakan. jd nambah ilmu ttg ratu kidul (kanjeng, nyai, ni 😉