Albert Einstein, menjalani kehidupan cinta bersama 3 perempuan : Marie Winteler, Mileva Maric dan Elsa. Membaca biografinya yang dituliskan Walter Isaacson; ada banyak yang bisa direnungkan tentang kisah masa kecilnya, perjuangannya di politeknik Zurich, kegilaannya pada cahaya dan gravitasi, militansi Yahudi serta tentu saja, perjalanan cintanya.
Ada yang unik dari pasangan cinta Einstein.
Marie Winteler sangat manis, baik paras maupun budi pekertinya. Awalnya Einstein jatuh cinta setengah mati, namun sifat manis Marie yang menghujaninya dengan surat dan hadiah-hadiah terasa membosankan untuk si anak bengal yang selalu melawan segala otoritas.
Berikutnya, Einstein jatuh cinta setengah mati kepada Mileva Maric yang ditentang habis seluruh keluarga Einstein. Mileva Maric bertubuh kecil, pincang, berwajah buruk hingga dijuluki si nenek sihir; ia teman sekelas Einstein di politeknik. Mileva pintar dan mampu mengimbangi Einstein. Berbeda dengan Marie yang menghujani dengan surat romantis, surat Mileva kepada Einstein dipenuhi teori elektrik dan matematika! Kecerdasan Mileva membuat Einstein terpikat. Beberapa sumber mengatakan, salah satu keberhasilan Einstein adalah berkat bantuan Mileva Maric yang rajin menyiapkan referensi dan mengetik makalah Einstein; tentu Maric bukan sekedar bertindak klerikal, ia juga pemikir.
Bersama Mileva, Einstein memiliki beberapa anak namun pernikahan mereka kandas akibat Einstein sangat dingin terhadap hubungan interpersonal. Hubungan dengan Hans Albert Einstein –putranya- seringkali memburuk.
Hati Einstein akhirnya berlabuh pada Elsa, yang mampu mengelola kehidupan Einstein sedemikian rupa, mulai hal-hal kecil hingga tampil di depan publik dan melakukan negosiasi.
Pasangan Hati
Einstein hanya satu dari sekian milyar manusia di muka bumi yang menjalani hidup, menemukan pasangan, lalu lebur kembali bersama tanah. Mendampingi orang seperti Einstein sungguh sulit, sebagai lelaki sekalipun ia bertanggung jawab, Einstein bukan suami yang didambakan banyak perempuan.
Namun, kisah cinta itu dapat diambil hikmahnya. Bukan karena romantisme, bukan karena kepintaran atau kecantikan, hubungan cinta dapat langgeng bertahan. Memang, romantisme dan kecerdasan pasangan adalah nilai plus; namun seringkali yang mampu mengikat sebuah pasangan adalah bila masing-masing menemukan apa yang dibutuhkan.
Mileva Maric sangat kecewa karena impiannya menjadi ilmuwan kandas seiring tubuhnya melemah akibat mengandung anak-anak Einstein. Mentalnya sakit dan hubungannya rusak, padahal kehidupan cinta mereka di masa kuliah benar-benar membuat orang terheran-heran. Elsa hanyalah orang kebanyakan, namun ia mampu mendampingi Einstein dalam saat sulit ketika ia tengah mematenkan beberapa karya ilmiah termasuk teori relativitas.
Pasangan hati, sungguh sulit dicari.
Terkadang harus gagal berkali-kali.
Namun ada yang sekali menemukan, langgeng hingga mati.
Sejatinya, manusia adalah makhluk yang harus terus belajar terhadap segala sesuatu. Belum tentu, pernikahan berarti menemukan pasangan hati. Namun, sayang sekali bila telah menikah masing-masing pihak tidak berusaha menemukan cara untuk mempertautkan hati lebih erat lagi. Ada banyak cara untuk mengeratkan pasangan hati.
Salah satu contoh kenalan saya, seorang karyawati kecil ini mungkin pantas ditiru. Meski, akibat suami terlalu mandiri, kadang saya terlupa.
“Mbak Sinta, kalau suami pulang dari kantor, siapkan minuman secara istimewa. Meski hanya segelas air putih. Meski segelas air putih, berikan tatakan alas dan tutup, pasti suami akan merasa sangat dihormati.”
Elsa tidak secantik Marie. Tidak secerdas Mileva. Pikirannya yang sederhana diungkapkan, “ aku tidak mengerti matematika kecuali tentang tagihan rumah tangga.”
Namun Elsa humoris, hangat, dan melayani Einstein dengan baik. Ketika Einstein harus bepergian, Elsa menyiapkan pakaian di koper bahkan menyiapkan uang-uang dan membaginya dalam amplop-amplop agar sesuai kebutuhan sang suami. Elsa memasak sup kacang dan sosis kesukaan Einstein, dan bila suaminya mondar mandir lupa diri akibat penelitian; Elsa akan mengantarkan makanan tersebut ke kamar. Dalam ruang kosmos Einstein yang tak terjamah, Elsa berusaha menjauhkan gangguan.
Pasangan Da’wahku
Untuk kesekian kali, kepergianku keluar kota didampingi suami.
Ia berseloroh, kuranglebih demikian, “nanti namaku dimasukkan jajaran pengurus FLP sebagai bagian transportasi yah!”
Di jalan, aku seringkali jatuh tertidur kelelahan, sementara suami berjaga, menyetir hingga tujuan. Sebagai ibu dan istri, kepergian keluar kota bukan sekedar angkat kaki. Di rumah, cucian hingga makanan butuh perhatian khusus. Apalagi anak-anak seringkali melaporkan sesuatu sesaat menjelang kepergian.
“Ummi, aku harus beli buku!”
“Nanti jemput aku yaaa…aku mau ada acara di sekolah.”
“Token listriknya habis nih.”
“Adik disuruh nyiram tanaman aja nggak mau tuh!”
Maka dengan sigap suamiku mengambil peran lain, disaat aku sibuk mencuci dan mengomando anak-anak.
“Jangan lupa masak nasi, lauk tinggal nggoreng. Ada martabak dan samosa di kulkas. Titip mesin cuci, Ummi lagi mbilas. Nanti tolong beli token. Jangan berantem. Jangan lupa sholat dhuha dan tilawah.”
Sekilas orang melihat bahwa kami pasangan kompak, Alhamdulillah.
Namun sampai di titik pemahaman seperti ini secara bersama-sama, bukan butuh sekali dua kali pembicaraan. Dengan kesibukan suami dan kuliah profesiku, suami berharap agenda-agenda lain tereduksi terutama agenda keluar kota. Sedikit demi sedikit, perlahan dan saling mendukung kukatakan, masing-masing kami memiliki peran da’wah yang tak dapat digantikan orang lain. Satu sama lain harus saling mengisi, mengoreksi, mengingatkan, mengorbankan kepentingan diri sendiri jika harus untuk mencapai harmonisasi.
Suami meminta ketrampilanku mengelola seluruh sumberdaya bila harus keluar rumah.
Di awal berperan dalam dunia da’wah, tentu kami lelah lahir batin. Benturan sesekali terjadi, dan kami berdiskusi untuk menemukan kata kunci : komitmen. Beban harus dibagi, anak-anak harus dipercepat kedewasaan agar orangtua tidak lagi ribet memikirkan tetek bengek rumahtangga.
Mendewasakan anak?
Owh, itu pembahasan yang butuh energi ekstra .
Saat ini yang kulakukan adalah menginjeksi kognisi mereka terus menerus, atau diistilahkan terapi Kognitif. Ketika suami protes kukatakan, “ saya masih menata ulang kognisi mereka Mas, perilaku masih belum. Bertahap ya…”
Alhamdulillah, sedikit demi sedikit tercipta stabilisasi dan harmonisasi.
Seringkali aku berpikir, bila bukan karena terikat oleh komitmen da’wah, pernikahan akan cepat bubar ditengah jalan. Masalah ekonomi, keluarga besar, anak-anak, kepribadian individu yang terus tumbuh dan dinamis, karier dan 1001 masalah manusia dapat menjadi alasan pernikahan gulung tikar. Dengan komitmen da’wah, kesulitan dapat diurai , dicari titik temu dan dilakukan penyelesaian masalah.
Karenanya, sungguh tepat sabda baginda Rasulullah Saw yang bersabda, intinya : pilihlah pasangan karena kecantikan, harta, nasab atau agamanya. Tetapi pilihlah agamanya terlebih dahulu.
Agama, adalah ikatan yang paling kuat dibandingkan ikatan kesukuan, strata sosial, emosi atau hubungan kekerabatan. Dengan agama, sepasang suami istri akan menimbang baik buruk dari kacamata yang baku, yang disepakati, yang tidak akan menimbulkan perselisihan. Lebih mudah bagi pasangan menentukan sesuatu jika tolok ukurnya adalah agama. Semisal, istri memiliki penghasilan lebih besar dari suami, maka ia akan tetap menjadikan suami sebagai qowwam. Sesering apapun istri meninggalkan rumah dengan alasan da’wah, ia akan mentaati komitmen yang diajukan suami. Alasannya jelas : ridho suami akan menghantar pada ridho Allah SWT.
Bayangkan bila tanpa landasan agama, seorang istri yang memiliki karir tinggi akan merasa pantas memperlakukan rumah sama dengan perlakuannya terhadap bawahan di kantor.
Memilih pasangan, mempertahankan pasangan dan pernikahan dengan landasan da’wah serta agama akan lebih mudah dilakukan. Mungkin saja pasangan sudah tidak cantik dan tampan lagi, tapi agama mengajarkan sabar dan syukur. Apalagi, bila ditelusuri lebih lanjut, pasangan da’wah kita jauh lebih baik daripada orang-orang yang lalu lalang di mall setiap harinya. Pasangan da’wah akan membuat seseorang melakukan lompatan pemikiran jauh ke depan : buat apa sih pernikahan ini? Sekedar seksual? Sekedar “kemewahan” agar dengan bangga kita bisa menjawab pertanyaan ini :
Sudah menikah?
Suami/istri kerja dimana?
Lulusan apa sih pasanganmu?
Einstein saja berkata, “istri bukanlah kemewahan yang didapatkan suami.”
Dengan kata lain, Einstein ingin mengatakan bahwa istri bukanlah sebuah attachment yang langsung melekat pada laki-laki begitu ia punya karir bagus, posisi, gaji mentereng. Pasangan hidup bukan sekedar kemewahan yang melekat dalam status agar kita berbangga mengatakan, “oh saya sudah menikah lho…malah sudah punya anak…suami/istri saya adalah….bla bla bla.”
Pasangan da’wah memang sulit ditemui, bahkan dibutuhkan kesungguhan untuk mendapatkannya. Sesudah diraih, butuh energi ekstra untuk memulasnya agar pernikahan yang semula memiliki landasan da’wah, tidak meluncur bagai bermain ski di lapisan es landai : dapat suami/istri aktivis da’wah, hidup enak, punya anak, cukup sudah.
Bagi anda yang belum memiliki pasangan da’wah, doa-doa kami akan selalu menyertai saudara/saudari agar Allah SWT memberikan jodoh mulia dari sisiNya sesegera mungkin; di waktu yang tepat dan dengan jalan yang diberkahi.
Bagi anda yang telah memiliki pasangan, marilah menjaga pasangan hati dan pasangan da’wah kita. Allah SWT telah memberikan rezeqi berlimpah dengan dimuliakanNya kita sempurna sebagai makhluk berpasangan. Bila ada kekurangan pada pasangan da’wah, maukah kita membantu menyempurnakannya?
Sinta Yudisia
Agustus 2014
Allahumma aamiin 🙂
MasyaaAllah.
Jazakillah untuk sharingnya. Sangat menginspirasi.
Reblogged this on Noted.
Wah, bun.. masyaaAllah… saya jadi penasaran bagaimana teori melatih kemampuan kognisi anak. Mungkin lain waktu bunda bisa menulis, berbagi ilmu tentang dunia psikologi? 🙂 kebetulan saya pernah mengambil dua mata kuliah ilmu keluarga dan konsumen..
Terima kasih sudah berbagi tulisan ini. Semoga rumah tangga bunda sinta barokah sampai jannah. aamiin 🙂
Reblogged this on CaraKata and commented:
Ijin share 🙂
Einstein saja berkata, “istri bukanlah kemewahan yang didapatkan suami.”
Wow. Bener banget ini mbak. Thanks lot for sharing this brilliant posting ya
mbak… keren banget! tfs, Mbak 🙂
Reblogged this on Islamialogy's and commented:
see ^^
ijin share ya mbak,,,, 🙂
Reblogged this on Berbagi Hikmah Kehidupan and commented:
Dalam hening malam aku berpikir sejenak,
akankah setelah menikah kelak aku kan tetap istiqpmah dalam jalan dakwah ini? dalam riuh riak aktivitas dakwah?
maka segera kupotong kegalauan itu. cukup sampai disini.
lurus, maju, menatap masa depan.
jemput pasangan dakwah terbaik yang Allah tetapkan untukmu.
ya, perbaiki dirimu, hadirkan dirimu, perbaiki visimu
just for Ridho Allah
menggapai ridho Allah, melalui ibadah dalam pernikahan
berdua harus lebih baik dalam berdakwah. aamiin ^_^
suka Bunda, ijin share yaaa….
Boleh ♥♡♥
Subhanaaalah… banyak belajar dari postingan ini
Wah keren. Tulisan ini sangat menginspirasi.