21 April 2016 beberapa hari lalu, saya mendapatkan penghargaan dari API (Aliansi Perempuan Indonesia) Membangun Bangsa sebagai salah satu orang berprestasi, yang mewakili kiprah para perempuan di dunia jurnalistik dan kepenulisan. Bertempat di Grand City Mall, acara yang berlangsung Kamis dari jam 15.00-17.00 berlangsung khidmat.
Alhamdulillah wasyukurillah.
Di balik itu semua, peran suami, anak-anak dan doa orang tua kami tentu berada di belakang semua ini.
Orang yang pertama kali mendapatkan pemberitahuan terkait perihal-perihal penting dalam hidup seperti : undangan mengisi acara, terbitnya buku, peluang beasiswa, penghargaan dan kemenangan atas sesuatu tertuju pada satu orang. Suami. Ia orang yang sepertinya akan turut berbahagia, dan tentu saja menanggung konsekuensi.
Ya. Siapa lagi yang akan menderita dengan perginya istri mengisi acara kesana kemari, bila bukan suami? Siapa lagi yang akan turut menanggung beban ketika istri mendapatkan peluang beasiswa atau panggilan ke mancanegara, bila bukan suami? Siapa lagi yang akan bersabar menghadapi anak-anak, melihat rumah berantakan, cucian menumpuk ketika istri berkiprah di luar; bila bukan suami?
Kamis kemarin, tepatnya 21 April 2016, saya mendapatkan penghargaan atas kiprah di bidang jurnalistik atau kepenulisan dari Aliansi Perempuan Indonesia Membangun Bangsa. Betapa bahagia ketika suami dapat mendampingi, tentu seizin atasannya untuk keluar kantor siang hari. Berada di sisi suami, duduk berdampingan, ketika ia mengambil gambar saat tangan menggenggam piala rasanya inilah kemenangan bersama.
Sebagai ibu dan istri, tanpa sumbangsih peran suami, rasanya mustahil perempuan mencapai taraf memuaskan dalam kiprahnya.
Suami adalah Qawwam (Pemimpin)
Suamiku tidak sehebat Superman, Batman, Ironman, Captain America atau Thor. Ia juga belum menyerupai para sahabat Nabi Saw dalam beramal ibadah. Ia masih harus banyak belajar untuk menjadi seperti Buya Hamka atau Muhammad Natsir atau Sir Muhammad Iqbal. Orasi? Ia tak hebat-hebat amat, namun cukup membuatku dan anak-anak termanggut-manggut ketika menjelaskan perihal Quran dan Hadits.
Satu yang special dari suamiku dan kurasa, salah satu karakter yang sebaiknya melekat pada diri laki-laki : sikapnya mengambil peran sebagai pemimpin atau qawwam dalam keluarga. Bila bicara perihal sunnah, mungkin sebagai istri, aku lebih unggul dari suami : sholat malam, sholat dhuha, hafalan quran. Kuamati suami, ia selalu berusaha tegak dalam hal-hal prinsip, tanpa bisa ditawar. Sholat wajib tepat waktu dan ke masjid, selelah apapun, bahkan ketika malam hanya sempat terlelap sesaat. Sekali waktu ada yang luput, namun tidak menjadi kebiasaan.
Apa yang menjadi unggul dari sholat ke masjid?
Suamiku menjadi teladan langsung dan utama, untukku dan anak-anak.
Tak ada excuse, tak ada kata no, tak ada tawar menawar untuk hal yang prinsip : sholat wajib. Bagi suamiku, yang wajib akan selalu berada di hierarki tertinggi, teratas, utama dan harus dinomersatukan.
Sholat wajib.
Usahakan tepat waktu.
Apapun, tak perlu pakai alasan.
Sepertinya hal sepele, namun membuatku dan anak-anak belajar mengatur hierarki dalam keluarga. Sebagus-bagusnya amalan sunnah, tak ada yang mengalahkan amalan wajib. Sehebat-hebatnya sebuah perkara, tak akan lebih mulia dari peran yang utama.
Hierarki kepentingan dan peran
Menempatkan perkara prinsip dalam hierarki yang semestinya, membuatku sempat maju mundur dalam menjalani berbagai peran. Peran ibu dan istri sudah luarbiasa padat, belum ditambah peran public. Sebagai penulis, psikolog dan guru; Sabtu dan Minggu dalam sebulan seringkali terjadwal padat.
Ibarat sholat wajib, suami memberikan batasan-batasan prinsip. Apa yang harus dikerjakan ibu dan istri, tak boleh ditinggalkan. Kalaupun ada keringanan karena pergi keluar kota atau keluar negeri, bukan melenggang kangkung.
Atas kebesaran hati suami yang mendukung setiap kiprah, aku juga tak ingin seenak udel mempermaikan peran. Sebelum pergi keluar kota atau keluar negeri, kuusahakan urusan makanan dan cucian beres. Bila harus catering, maka kususun menu selama sepekan. Cucian? Kuajak anak-anak berbagi peran. Bila mereka terlalu lelah, kuajarkan bagaimana mencuci dan memilah pakaian, sebelum dilempar ke laundry. Beres-beres rumah? Beragam ukuran tas plastic untuk beragam sampah kusiapkan. Pengumuman-pengumuman cantik terpasang di beberapa areal dinding; untuk mengingatkan masin-masing akan tugasnya.
Peran ibu dan istri masih kupegang dari jarak yang jauh. Mengontrol belajar, mengontrol makanan, mengontrol sholat dan ibadah anak-anak.
Suami memberikan izin bagiku untuk sesekali berkiprah membaktikan ilmu namun ia tegaskan; jangan sampai peran ibu dan istri terabaikan. Prinsip sholat wajib sebagai hierarki utama terpelihara di rumah kami : yang wajib, penting, fundamental, tetap harus didahulukan. Perkara-perkara sampingan dapat ditunda.
Qawwam adalah stabilisator
Suami dan istri saling menyeimbangkan. Bila suami gusar, istri menenangkan. Bila istri marah, suami bersabar. Bila suami kecewa, istri menghibur. Bila istri mengomel tak karuan, suami rela mendengarkan.
Sekali lagi, suami dan keluargaku bukan gambaran hebat-hebat amat yang ideal seratus persen. Namun, adanya poros dalam keluarga kami, membuat perputaran tetap dalam sumbunya. Kalaupun melenting jauh, tak akan terlepas lepas tanpa tarikan gravitasi. Seorang suami, ayah, adalah pemimpin keluarga. Ia menyeimbangkan ketika mulai terjadi pergeseran bahkan penyelewengan.
Segala izin, bersumber pada suami. Ialah yang akan menentukan, dengan segala hormat dan ketinggian martabat, bahwa keputusan penting ada di tangannya.
“Aku ingin kuliah sastra,” kata si sulung.
“Aku mau aplikasi beasiswa ke luarnegeri,” kata adiknya.
“Aku mau studi engineer tentang mesin-mesin besar,” kata nomer tiga.
“Aku masih bingung,” kata si bungsu. “Jadi dokter, penulis atau sejarawan?”
Maka qawwam akan mengambil keputusan penting dengan segala pertimbangan.
Begitupun ketika aku melaporkan ,” Mas, aku akan mengisi keluar kota tanggal sekian.”
Ia menjawab,” gak capek? Gak keseringan keluar kota?”
Sebagai poros, suami akan menjaga agar semua anggota keluarga tetap dalam orbitnya.
Sekali lagi, perkataan suami tak akan memiliki makna sama sekali bila ia bukan merupakan qawwam bagi keluarga kami. Perkataannya, pemikirannya, pandangannya, keputusannya adalah arah penting bagi kebijakan keluarga.
Suami dan kesempatan istri berprestasi
Rasanya malu sekali, bila terlontar ucapan bahwa apa yang kita capai semata-mata hanya karena kepintaran dan kehebatan diri pribadi. Mungkin aku punya sejuta diksi indah untuk dituliskan dalam sebuah novel, namun tanpa izin suami untuk meninggalkan sejenak beberapa pos pekerjaan, aku tak akan punya waktu khusus sehari dua hari untuk berkonsentrasi pada tulisan. Biasanya, bila deadline tulisan tiba, aku akan meminta izin pada suami untuk benar-benar full di depan laptop.
Ketika tulisan itu mendapatkan penghargaan, bukankan ada peran suami di dalamnya?
Terlebih, ketika sedang konsentrasi pada ujian akhir profesi psikologi…nyaris tak terkatakan bagaimana tekanan akademis. Ujian praktek dan thesis kejar mengejar; klien tak semua kooperatif, laporan termasuk verbatim yang luarbiasa membuat mata berair karena panas dan tangisan. Ups….betapa tak mungkin semua itu dilalui tanpa ada toleransi seorang suami.
Qawwam kita.
Sang pemimpin.
Yang rela menanggung beban dan derita ketika istri maju ke depan, mengasah potensi.
Maka, bila kemudian aku terpilih mewakili sekian banyak perempuan luarbiasa di negeri ini untuk menerima penghargaan di Hari Kartini 2016; sungguh, ini bukan hanya bicara tentang kiprah perempuan. Ini adalah prestasi para suami yang tersenyum lapang dada ketika istrinya tergopoh keluar rumah , mengisi pelatihan. Ini adalah kerja keras suami untuk dapat juga sedikit-sedikit membantu kerja domestic istri : memasak, membereskan rumah, mencuci.
Penghargaan untuk perempuan berprestasi, adalah penghargaan untuk sebuah keluarga yang mencoba untuk bahu membahu mengatasi tantangan zaman.
Penghargaan untuk perempuan, adalah penghargaan pula untukmu para suami, yang rela menjadi lokomotif peradaban dengan selalu melaju di depan. Menjadi imam. Menjadi teladan. Menjadi pemimpin. Menjadi pendamping istri dengan segala suka duka.
Untuk suamiku tercinta, terimakasih atas segala dukunganmu
Sinta Yudisia
Selamat mbak Sinta. Semoga penghargaan itu bisa menjadi berkah ya… aamiin…
Selamat yaa Sinta 🙂
Proud of you…….
Selamat ya bu Sinta…. Turut berbangga atas prestasinya. Hati rasanya mengharu biru membaca tulisan ibu tentang suami. Karena hal tersebut yang saya rasakan saat ini, dalam perjuangan menyelesaikan tesis.
baarakallahu fiik mba sinta. ^^
smoga makin manfaat ilmunya..
dan makin produktif nulis juga.
selamat ya mba
Pingback: Children with Special Needs (ABK) : stem cell, pubertas, lapangan pekerjaan, hingga pasangan hidup ? | Journey of Sinta Yudisia
Pingback: 1 Jam : Bantuan Berharga bagi Komunitas Marginal | Journey of Sinta Yudisia
Pingback: Resume KULWAP Solid sampai Syurga with Komunitas Bunda 1011 ♡ – Umminya Musa
Wah, terimakasih sekali …