Kartini’s spirit Never Die
Alhamdulillah, tanggal 25 April kemarin aku berkesempatan mengisi acara Kartini di UNAIR. KArtini, kadang lebih diidentikan dengan perayaan berpakaian tradisional dengan sanggul dan kebaya. Padahal perjuangan Kartini lebih dari itu : pandangannya terhadap pendidikan, terhadap al Quran, terhadap orang2 yang berada di bawah derajatnya dan juga terhadap perempuan pada umumnya. Semoga kita bisa meneladani bukan hanya Kartini tapi juga seluruh contoh muslimah hebat yang kisahnya terukir dalam sejarah.
Ini materi yang kusampaikan :
<!– @page { size: 8.5in 11in; margin: 0.79in } P { margin-bottom: 0.08in } –>
Kedudukan Perempuan dalam Islam
UNAIR 25 April 2009
-
Orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Bijaksana”. (QS. Al-Taubah, 9: 71).
Pembahasan ‘aqidah,
-
sebagai basis awal seluruh ajaran keislaman, sulit ditemukan pernyataan teks apapun yang membedakan posisi laki-laki dari perempuan.Dalam wahyu pertama sama sekali tidak dinyatakan ‘hanya untuk laki-laki’ atau ‘tidak untuk perempuan’. Seluruh pernyataan Allah SWT diperuntukkan bagi seluruh hamba-Nya, tanpa membedakan laki-laki dan perempuan.
-
Tetapi dalam kaidah ushul fiqh maupun kaidah bahasa, redaksi laki-laki digunakan untuk mencakup kedua jenis kelamin (al-ashlu fi al-khithâb ya‘ummu adzakara wa al-untsâ), kecuali jika dinyatakan secara khusus untuk jenis kelamin tertentu (illâ in dallat al-qarinatu ‘alâ khushûsihi).
-
Perintah bertauhid, misalnya, sekalipun menggunakan redaksi laki-laki (khithâb al-dzukûr), tetapi mencakup kedua jenis kelamin (ya‘ummu al-dzukûr wa al-inâts). Sama juga dengan perintah untuk menjadi khalifah yang memakmurkan bumi dan menjadi saksi kemanusiaan (syuhadâ ‘alâ al-nâs), yang juga menggunakan redaksi laki-laki.
-
Untuk ajaran tauhid misalnya, yang secara vertikal berarti ketundukan kepada Tuhan yang hanya satu (ilâhun wâhid), dan secara horizontal berarti kesederajatan seluruh manusia dengan tanpa penghambaan di antara mereka dan tanpa diskriminasi.
-
Setiap ada perilaku diskriminasi dan yang merendahkan kemanusiaan, Nabi saw. selalu menyatakan kepada pelaku tersebut, “Kamu adalah orang yang masih terpengaruh budaya kebodohan” (Innaka rajulun fîka jahiliyyah). Begitu juga makna khalifah dan saksi kemanusiaan, sebagai turunan dari ajaran tauhid.
-
Mencari ilmu untuk memperoleh pengetahuan dan pengalaman, serta menyebarkannya adalah turunan dari ajaran ketauhidan, kekhalifahan, dan sebagai bentuk kesaksian untuk kemanusiaan. Laki-laki dan perempuan, keduanya dituntut meningkatkan pengetahuan dan mempertanggungjawabkan bagi kepentingan keumatan. Tugas ini dalam bahasa lain disebut sebagai amar ma‘ruf nahy munkar,
-
Tugas amar ma‘ruf dan nahy munkar, yang menjadi tanggung jawab bersama, laki-laki dan perempuan, menuntut kemampuan pengetahuan yang memadai dan pengalaman yang cukup. Pencapaian pengetahuan inilah yang kemudian menjadi pintu masuk ‘keulamaan’ laki-laki maupun perempuan. Seorang pakar hadis, al-Hafiz ibn al-Jawzi (w. 597 H) dalam kitabnya Ahkâm al-Nisâ’, menegaskan pentingnya pengajaran untuk perempuan. Sekalipun di dalam kitab ini, dia mengumpulkan berbagai teks-teks hadis yang sepertinya membelenggu perempuan, tetapi dia tetap mengatakan:
“Bab ketiga: Kewajiban perempuan untuk menuntut ilmu. Perempuan, sama seperti laki-laki, diharuskan menuntut ilmu mengenai hal-hal yang menjadi kewajiban dirinya dalam kehidupan, agar ia bisa melaksanakan dengan penuh keyakinan.. (Ibn al-Jawzi, Ahkâm al-Nisâ, 11).
-
Di akhir bab dari kitab ini, yaitu bab yang ke-110, Ibn al-Jawzi menuturkan 66 nama perempuan yang dinilai memiliki keagungan dan kemuliaan. Baik karena keilmuan yang dimiliki, pengajaran yang dilakukan, atau sikap agama dan ibadah yang dilaksanakan. Sejak masa Nabi Muhammad saw., para perempuan diberi kesempatan dan didorong untuk memperoleh pengetahuan yang menjadi kewajiban dan merupakan persoalan dirinya. Sayyidah ‘Aisyah ra., dalam suatu teks hadis, memuji perilaku beberapa perempuan Anshar Madinah yang memiliki semangat tinggi untuk datang ke rumah Nabi saw. untuk memperoleh ilmu pengetahuan. “Sebaik-baik perempuan adalah mereka yang dari Anshar, karena mereka tidak pernah malu untuk belajar memperdalam agama”. (Riwayat Bukhari, lihat: Ibn al-Atsir, Jâmi‘ al-Ushûl, juz 8, h. 196, no. hadis: 5352). Beberapa teks hadis yang lain, juga menceritakan mengenai tuntutan para perempuan yang meminta waktu khusus untuk belajar dari Nabi Muhammad saw. Di samping mereka juga biasa mendatangi masjid, ikut shalat lima waktu maupun Jum’at dan mendengar khutbah, baik Khutbah Jum‘at maupuan Khutbah Idul Fitri maupun Idul Adha.
-
Aktivitas ini yang membuat beberapa perempuan sahabat bergerak, sepeninggal Nabi saw., menjadi pengibar panji-panji keilmuan dalam peradaban Islam. Baik Ilmu Alquran, Hadis, Fiqh maupun sastra dan sejarah Bangsa Arab. Al-Hafiz al-Maqdisi (w. 600 H) mencatat dalam kitabnya al-Kamâl fî Asmâ ar-Rijâl, ada 824 nama perempuan di abad pertama, kedua dan ketiga hijriyah, yang memiliki kontribusi pengajaran ilmu-ilmu transmisi hadis (al-riwâyah).
-
Pada masa sahabat yang paling menonjol dalam pengajaran, di antaranya adalah
-
Aisyah bint Abi Bakr ra. yang memiliki 299 murid,
-
Ummu Salamah bint Abi Umayyah ra. dengan 101 murid,
-
Hafsah bint ‘Umar ra. dengan 20 murid, Asma’ bint Abi Bakr ra. dengan 21 murid,
-
Hajimah al-Wassabiyyah ra. dengan 22 murid,
-
Asma’ bint ‘Umais ra. dengan 13 murid,
-
Ramlah bint Abi Sufyan ra. dengan 21 murid dan
-
Fathimah bint Qays ra. dengan 11 murid.
-
(Lihat: al-Habasy, al-Mar’ah bain al-Syari‘ah wa al-Hayah, h. 16).
-
Ibn al-‘Arabi mencatat dalam kitabnya al-Futûhat al-Makkiyyah, ada lebih 40 orang sufi besar perempuan yang memiliki pengaruh terhadap literatur dan pengajaran tasawuf. Ulama perempuan pada abad pertama hijriah, yang terkenal di bidang fiqh adalah Zainab bint Abi Salamah al-Makhzumiyyah (w. 73 H), Hajmiyah bint Hayy al-Awshabiyyah al-Dimasyqiyyah yang biasa dipanggil Umm al-Darda’ (w. 81 H), ‘Umrah bint ‘Abd al-Rahman (w. 100 H). Ketiganya adalah ulama besar yang disaksikan para sahabat dan ulama-ulama mazhab. Sayyidah ‘Aisyah ra. orang yang langsung mendidik ‘Umrah bint ‘Abd al-Rahman, sehingga ia menjadi rujukan banyak ulama pada masanya. Imam Malik bin Anas, pendiri mazhab Maliki, termasuk salah seorang yang banyak merujuk pada pandangan-pandangan ‘Umrah bint ‘Abd al-Rahman (lihat: al-Sa‘di: al-Faqîhat al-Mansiyyât, h. 12).
-
-
Ruth Roded dalam Kembang Peradaban, keterlibatan perempuan semakin ke depan (atau kemari) justru semakin sedikit. Abad-abad pertama justru lebih banyak keterlibatan perempuan dalam ilmu pengetahuan dan aktivitas keagamaan. Mungkin ini menjadi kritik keras terhadap realitas keterpurukan perempuan sepanjang sejarah Islam di abad pertengahan dan abad-abad akhir. Indonesiapun memiliki sejarah keulamaan yang signifikan, yang diakui dunia bahkan dikunjungi Rektor Universitas al-Azhar Mesir, yaitu Rahmah el-Yunusiah yang sempat diberi gelar al-Syaikhah atau Guru Besar (perempuan) dari universitas tersebut. Artinya, ia sesungguhnya setara dengan al-Syaikh Mahmud Syaltut pada saat itu.
-