“Yaaa, Ummi mau kemana?”
“Ummi mau cari barakahnya rizqi ya, Sayang.”
Menjadi bagian dari masyarakat Indonesia, bagian dari ummat manusia, bagian dari kaum muslimin; ada tanggung jawab yang tidak bisa diabaikan sebagai makhluk sosial. Manusia tidak bisa selamanya mengaku sebagai makhluk individu.
Maka, bila mendapat amanah da’wah, sebisa mungkin kutunaikan sebaik-baiknya. Tapi bagaimana membahasakan pada anak-anakku yang ketika itu masih kecil-kecil? Balasan surga masih terlalu abstrak bagi mereka, amar ma’ruf nahiy munkar juga belum begitu difahami. Barulah ketika mereka beranjak remaja, mereka faham ketika kuajarkan tentang kewajiban kaum muslimin.
Dalam acara da’wah, selalu kubahasakan bahwa dengan turut serta bahu membahu memikirkan dan menuntaskan masalah ummat, maka keluarga kami pun akan senantiasa mendapatkan rizqi dari Nya, rizqi yang penuh barakah. Jangan bayangkan rizqi da’wah itu dalam bentuk uang, dalam tiap kebaikan yang kami dapatkan, kuusahakan mengkorelasikannya dengan kebaikan Allah dan rizqi da’wah.
Misal, suatu saat anakku demam tinggi. Salah satu anakku ada yang sangat alergi obat. Maka, aku betul-betul bingung, apalagi saat itu suamiku sedang tugas jauh di luar kota. Cari info kesana kemari, maka rizqi da’wah itupun kudapatkan.
Seorang ikhwan memberi tahu, “ degan Ijo aja, bu Sinta. Anak-anak saya, juga begitu kalau demam.”
Ahya, alhamdulillah rizqi da’wah berupa informasi obat itu kudapat.
Pelajaran-pelajaran berharga dalam kehidupan, yang tidak mungkin di dapat di bangku sekolah atau kuliah, ku share kepada anak-anak agar mereka turut mencicipi nikmatnya rizqi da’wah.
Bingkisan acara
Setiap kali mengisi acara, selalu rizqi da’wah itupun menyertai.
Suatu ketika, aku mengisi acara di rumah susun. Sungguh tidak terbayang, mereka yang kesulitan itu akan membawakanku bingkisan buah, nasi dalam keranjang dan….serantang sayur. Sesampai di rumah, bahkan aku terharu di depan anak-anakku. Melihat potongan ayam demikian kecil, bihun sebagai lauk, dan nasi yang demikian keras.
“Lihat Nak,” ujarku. “Orang-orang itu sehari-hari makan susah. Jualan rujak, gorengan, malah ada yang ongkos jahit per tas Rp.100 rupiah. Tapi masih menyempatkan memasak seperti ini, dan nyangoni Ummi makanan kayak begini.”
Anak-anak ikut mengucapkan subhanallah, dan demikian mensyukuri cerita yang kuberikan betapa keseharian kami masih demikian luarbiasa.
Di lain ketika, aku mengisi pengajian di sebuah kampung.
Betapa kecil rumah-rumah mereka, betapa sesak bahkan untuk menyelenggarakan pengajian satu RT. Kadang, sungguh, aku sangat ingin menolak bingkisan mereka tapi lagi-lagi para ibu berkata, “ hanya ini yang bisa kami berikan.”
Ternyata bingkisan itu berisi 1 baju dan 1 tas, yang dijahit sendiri oleh seorang peserta pengajian!
Banyak sekali bingkisan acara, rizqi da’wah yang rasanya di betul-betul di atur olehNya.
Flash Disk hingga peralatan dapur
Tak kalah menariknya, bingkisan acara yang disiapkan ibu-ibu sebuah kompleks. Sekolah Ibu ternyata dibutuhkan pula ibu-ibu kalangan atas yang kesehariannya sibuk bergelut dengan karir sehingga mereka demikian antusias saat mengikuti Sekolah Ibu.
“Bu Sinta, ini kami beri bingkisan ya,” kata ibu pengasuh Sekolah Ibu.
Tentu bukan uang tapi….flash disk! Aku benar-benar merasa berterimakasih. Bagaimana tidak? Pelupa salah satu sifat yang membuat suamiku sering uring-uringan. Entah berapa jaket yang kuhilangkan karena lupa, tertinggal hingga tinggal satu jaket coklat yang kata suamiku, “ awas, kalau yang ini ketinggalan entah dimana, harus ambil ya!” Aku sering lupa meletakkan dompet, kacamata. Pulpen entah berapa yang raib, dan yang paling mengenaskan adalah flash disk. Maka hadiah flash disk sungguh sangat berharga.
Di lemari dapur subhanallah, tersimpan barang-barang bermanfaat yang kudapat dari bingkisan acara. Piring , mangkok, sendok, dan gelas adalah hadiah dari sabun, mie. Tapi masa’ menyuguhkan tamu pakai gelas hadiah kecap? Konon kurang etis. Alhamdulillah, selalu dapat hal bermanfaat dari da’wah seperti gelas cantik, nampan, teko.
Tikus, tikus,tikus
Tikus mungkin juga berevolusi.
Kami sementara ini masih membiarkan halaman belakang apa adanya, jadi makhluk berbulu itu sangat sulit dibendung. Apakah tikus sekarang menunjukkan inteligensi yang lebih tinggai dari dekade sebelumnya? Mungkin saja!
Tikus di rumah kami tidak menggigit sembarang barang. Plastik, dipilih-pilihnya juga. Ia akan membiarkan plastik murahan dan akan menggerigiti….tupperware! Kalau lupa menyisihkan barang-barang yang sudah dicuci masuk ke dalam rumah, maka esok hari biasanya tikus akan memakan tutup atau tepian wadah tupperware.
Dan, akibat penyakit pelupa, entah berapa barang dapur yang hangus terbakar hingga rantang, dan wadah-wadah alumunium sering berlubang.
Subhanallah, belum lama ini mengisi acara ibu-ibu, lagi-lagi dapat hadiah yang kubutuhkan, seperangkat canister tupperware. Kali ini, sangat hati-hati kujaga agar tikus tidak sembarangan menggerigiti.
Lalu, aku membutuhkan sebuah barang.
Mau tahu?
Gelas Besar!
Suamiku berasal dari Tegal.
Dan, kebiasaan terkenal kota ini adalah teh poci. Setiap pagi, saat kami masih di Tegal, ritual menyambut hari adalah merebus teh tubruk. Teh mendidih dituangkan dalam gelas, dan sarapan pagi bersama keluarga besar akan sangat nikmat ditemani bergelas-gelas besar teh panas, legit, manis dan kental.
Aku ingin sekali punya gelas besar.
Setiap hari, keluarga kami menyeduh teh dalam cangkir-cangkir yang terasa kekecilan untuk tradisi Tegal, gelas-gelas yang tidak cukup menampung selera. Sebesar-besarnya gelas hanya ukuran mug. Aku mencoba mencari gelas besar, tapi harus ke pusat barang pecah belah yang tidak sempat-sempat kukunjungi. Hanya kalau lewat supermarket, kucari gelas besar, tidak ketemu juga.
Dulu, Ummi di Tegal memang tidak pernah membeli gelas besar. Gelas-gelas besar bertelinga itu hadiah dari sabun colek yang sekarang sudah musnah di pasaran. Aku sampai bilang ke suamiku,
“mas, aku pingin cari gelas besar seperti yang di Tegal. Enak banget minum teh kayak gitu ya.”
Maklum, kalau sudah waktunya ngelembur, minuman panas adalah teman favorit termasuk teh panas!
Keinginan itu terpendam dan berlalu begitu saja.
Sampai suatu ketika aku diminta mengisi acara keputrian dan pulang seperti biasa, membawa bingkisan acara. Aku ingat, hari itu hari Sabtu. Kebetulan aku mengisi acara da’wah , dan suamiku juga memiliki acara da’wah sendiri. Anak-anak, menyambut riang bingkisan kue dan membuka kertas kado saat aku pulang siang itu.
Perlahan-lahan, putriku melepas selotip dan melepas lapisan kertas kado.
“Waaaah, gelasnya cantik sekali!” kata putriku.
Aku terbelalak. Ada tiga gelas bercorak daun centil warna pink. Bukan coraknya yang membuat tercengan tapi…ukurannya! Gelas itu kuletakkan tepat di tengah-tengah meja makan, menunggu suamiku pulang. Dan sore hari, ketika suamiku pulang, ia berseru heboh,
“…ya ampun, Mi! Kita kan pingin gelas kayak gitu??”
Aku tertawa.
Alhamdulillah. Bahkan hingga keinginan kecil sekalipun, Allah mendengarkan!
luar biasa ya 🙂 katanya kan apa2 yang kita ucapkan itu doa dan mungkin emang bener 🙂
Benar mbak Noni, maka kita sebaiknya mengucapkan kata – kalimat yang baik agar jadi energi positif dan berbalik menajdi kebaikan buat diri kita sendiri 🙂
kemarin saya ada acara 4 bulanan istri hamil, mengundang teman-teman ibu buat ngaji. dan jelas kita siapkan bingkisan acara. syukur yang datang banyak, target 50 bingkisan ternyata kurang sehingga kita cari makanan ke mertua buat nutup.
mungkin saya ga kaya, namun selalu menyenangkan bisa berbagi kebahagian walau hanya sebingkisan acara buat tiap tamu.